Jumat, 23 Maret 2012

Penatalaksanaan Edema Cerebri pada Eklampsia

| Jumat, 23 Maret 2012 | 0 komentar

Penatalaksanaan Edema Cerebri pada Eklampsia


Pendahuluan

Eklampsia merupakan salah satu komplikasi preeklampsia. Eklampsia didefinisikan sebagai kejang pada kehamilan, atau dalam 10 hari setelah persalinan yang ditandai dengan trias hipertensi, edema dan proteinuria yang terjadi setelah umur kehamilan 20 minggu sampai segera setelah persalinan.

Komplikasi neurologi pada eklampsia

Komplikasi neurologi eklampsia yang utama adalah kejang (Chakravarty dan Chakrabarti, 2002). Encephalopati merupakan salah satu komplikasi lain dari eklampsia. Edema cerebri, encephalopati hipertensi, dan perdarahan intrakranial merupakan penyebab utama encephalopati akibat disfungsi autoregulasi cerebral pada eklampsia (Cummingham dan Twickler, 2000).

Edema cerebri difus yang mengakibatkan gejala-gejala global sistem saraf pusat terjadi pada 6% penderita eklampsia. Edema cerebri merupakan bentuk komplikasi lanjut dari eklampsia. Edema timbul akibat disfungsi autoregulasi cerebral, sehingga timbul ekstravasasi cairan dan protein melalui sawar darah otak. Edema cerebri difus diakibatkan oleh karena campuran edema sitotoksik dan edema vasogenik oleh karena tingginya aliran darah otak (Cummingham dan Twickler, 2000).


Patofisiologi

Gangguan neurologi pada eklampsia dapat terjadi ante partum maupun post partum. Defisit neurologi terutama disebabkan oleh karena disfungsi autoregulasi cerebral. Gangguan sawar darah otak dapat terjadi melalui 2 mekanisme, yaitu: kerusakan kapiler oleh karena hipertensi, atau disfungsi endotel yang diperantarai oleh sistem imun. Gangguan sawar darah otak akan menyebabkan ekstravasasi sel darah merah, dan protein plasma, yang mengakibatkan edema cerebri (Chakravarty dan Chakrabarti, 2002).

Gangguan patologis lain dapat pula terjadi oleh karena vasospasme akibat hipertensi, defisiensi prostaglandin, dan defek pada gen e-NOS (Nitric Oxide Synthase), dan kerusakan endotel. Hal-hal tersebut akan mengakibatkan iskemia dan infark pada jaringan otak (Chakravarty dan Chakrabarti, 2002). Gangguan pada sistem koagulasi dan abnormalitas dan penurunan platelet merupakan faktor predisposisi timbulnya perdarahan intrakranial. Penelitian menunjukkan adanya bukti edema cerebri, mikro-infark, petikie kortikal pada gambaran CT Scan/ MRI pasien eklampsia (Chakravarty dan Chakrabarti, 2002).

Edema cerebri yang terjadi pada eklampsia merupakan kombinasi edema vasogenik dan edema sitotoksik (Cummingham dan Twickler, 2000). Edema vasogenik terjadi akibat gangguan pada sawar darah otak, sehingga terjadi ekstravasasi cairan dan protein. Pada edema sitotoksik, sawar darah otak utuh tetapi terjadi gangguan sistem pompa natrium (Greenberg, 2001). Edema vasogenik didukung oleh teori vasodilatasi mikrovaskular. Teori ini menunjukkan bahwa peningkatan akut tekanan darah akan menyebabkan vasodilatasi mikrovaskular dan hiperperfusi cerebri, hal tersebut akan menyebabkan ekstravasasi cairan ( Loureiro, dkk, 2003). Edema sitotoksik didukung oleh teori vasokonstriksi mikrovaskular. Teori ini menunjukkan bahwa gangguan aliran darah otak akan menyebabkan munculnya vasokonstriksi yang mengakibatkan gangguan pompa natrium, sehingga terjadi pembengkakan sel ( Loureiro, dkk, 2003). Edema sitotoksik akan menyebabkan kerusakan neuron, sehingga memiliki prognosis yang lebih buruk dibanding edema vasogenik ( Loureiro, dkk, 2003).

Edema cerebri difus terutama terjadi pada area perbatasan substansia alba dan substansia grisea. Edema cerebri paling sering ditemukan pada lobus occipitalis. Edema cerebri yang terjadi terutama diakibatkan gangguan pada autoregulasi cerebral yang mengakibatkan ekstravasasi cairan dan protein. Teori lain menyebutkan bahwa edema vasogenik diakibatkan oleh karena vasodilatasi berlebih dan peningkatan aliran darah otak lokal. Edema vasogenik akan diikuti oleh vasokonstriksi, yang mengakibatkan munculnya edema sitotoksik (Cummingham dan Twickler, 2000).

Penelitian pengukuran aliran darah otak dengan doopler ultrasonografi oleh Wiliiams dan Wilson (1999) dilakukan pada pasien eklampsia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada eklampsia terjadi peningkatan tekanan perfusi cerebral yang signifikan dan kegagalan proses resistensi cerebrovaskular. Hal ini akan menyebabkan overperfusi cerebral seperti pada kasus hipertensi encephalopati. Overperfusi cerebral dapat menetap sampai dengan 4 hari.


Gambaran klinis edema cerebri

Gambaran klinis edema cerebri difus dapat sangat bervariasi. Tidak ada gejala dan tanda yang sangat patognomonik dan sangat spesifik untuk edema cerebri. Gambaran klinis yang harus dicurigai sebagai suatu edema cerebri adalah: nyeri kepala yang disertai oleh muntah yang proyektil. Nyeri kepala merupakan gejala awal, dengan sifat khas memberat di pagi hari dan memberat dengan pergerakan kepala. Gangguan mental dan psikologis juga umum dijumpai, kehilangan minat, wajah murung, tidak spontan menjawab bila ditanya, dan gangguan memori pada tahap lanjut (Berndt, 1982).

Papil edema merupakan tanda lain peningkatan tekanan intrakranial. Pasien biasanya mengeluhkan penurunan tajam penglihatan yang bersifat akut. Penurunan tajam penglihatan disebabkan oleh timbulnya edema papil optik (Berndt, 1982). Gangguan penglihatan dapat pula bersifat central, akibat gangguan traktus visual di lobus oksipitalis. Laporan kasus serial Chakravarty dan Chakrabarti (2002) pada 7 pasien eklampsia yang dilakukan pemeriksaan pencitraan, hasil menunjukkan bahwa gangguan lobus oksipitalis bilateral (dibuktikan dengan MRI dan CT Scan) dijumpai pada seluruh pasien. Gangguan lobus oksipitalis disebabkan oleh karena edema, mikro-infark, dan mikro hemoragik (Chakravarty dan Chakrabarti, 2002). Gangguan lobus oksipitalis bilateral akan menyebabkan munculnya buta kortikal, yang biasanya bersifat reversibel (Cummingham dan Twickler, 2000).

Peningkatan tekanan intrakranial yang mendadak juga dapat menyebabkan munculnya sindroma Cushing, yang terdiri atas: bradikardia, peningkatan tekanan darah, dan abnormalitas pola pernafasan. Pada tahap yang lanjut dapat ditemukan penurunan kesadaran, gangguan gerak bola mata, ukuran pupil yang anisokor, dan munculnya refleks patologis (Berndt, 1982).


Diagnosis banding

  1. Encephalopati hipertensi

Encephalopati hipertensi menggambarkan munculnya gejala neurologik yang mendadak pada pasien dengan hipertensi emergensi. Encephalopati hipertensi merupakan salah satu bentuk hipertensi maligna. Penyebab utama munculnya encephalopati hipertensi adalah peningkatan tekanan darah yang mendadak pada pasien-pasien hipertensi kronis. Kondisi lain yang merupakan faktor predisposisi munculnya encephalopati hipertensi adalah pre-eklampsia/ eklampsia (Chang dan Susanto, 2004).

Gambaran klinis yang sering tampak adalah nyeri kepala, bingung, gangguan visus, mual, muntah, dan kejang. Nyeri kepala yang muncul biasanya pada bagian anterior kepala, dan bersifat konstan. Onset gejala terjadi spada 24-48 jam, dengan perburukan neurologis pada 24-48 jam berikutnya (Chang dan Susanto, 2004).

Pasien dengan encephalopati hipertensi dapat memperlihatkan munculnya gejala-gejala lain akibat kerusakan target oran lain. Gangguan pada sistem kardiovaskular dapat menyebabkan munculnya: gejala diseksi aorta, gagal jantung kongestif, angina, palpitasi, denyut jantung yang iregular, dan dyspnea. Gangguan ginjal dapat menyebabkan munculnya hematuria, dan gagal ginjal akut (Chang dan Susanto, 2004).

Patofisiologi munculnya encephalopati hipertensi belum diketahui secara pasti, teori terkini memperlihatkan adanya kegagalan sistem autoregulasi cerebral akibat tekanan darah yang tinggi. Gangguan autoregulasi cerebral menyebabkan overdistensi arteriola cerebral, yang mengganggu sawar darah otak, sehingga terjadi edema vasogenik akibat ekstravasasi cairan dan protein (Jensen, dkk, 2004).


  1. Stroke post partum (perdarahan intracerebral)

Stroke menurut WHO didefinisikan sebagai: disfungsi cerebral fokal atau global yang berlangsung akut, lebih dari 24 jam atau sampai meninggal, yang diakibatkan oleh gangguan vaskular (Smadja, 2001). Stroke didiagnosis berdasar pada gambaran klinisi dan CT Scan kepala, dan dikategorikan sebagai: Stroke perdarahan dan Stroke iskemik (Smadja, 2001).

Stroke post partum merupakan kelainan yang sangat jarang terjadi, dengan insidensi 0,01% sampai 0,05% dari seluruh kehamilan. Perdarahan parenkimal merupakan bentuk stroke yang paling umum terjadi pada eklampsia. Gambaran klinis yang paling sering dijumpai adalah nyeri kepala, kejang, gangguan visual, dan kelemahan anggota gerak. Stroke post partum sering salah didiagnosa sebagai eklampsia post partum (Greenberg, 2001, Witlin, 2000).

Penelitian Witlin, dkk (2000) pada 20 penderita stroke post partum. Gejala yang paling sering dijumpai adalah nyeri kepala, kejang, gangguan visus, dan hemiparese. Gambaran radiologis menunjukkan infark otak pada 7 kasus, perdarahan pada 5 kasus, cerebritis pada 1 kasus, dan atrofi otak pada 1 kasus. Stroke post partum dihubungkan dengan hipertensi pada kehamilan dan sectio cesaria.


Diagnosis penunjang

Pemeriksaan MRI atau CT Scan kepala dapat membantu penegakan diagnosis gangguan neurologis pada pasien eklampsia. Edema otak ditunjukkan dengan area densitas rendah pada CT Scan kepala, atau sebagai sinyal yang intense pada T2-weighted MRI. Sirkulasi posterior merupakan bagian yang paling sering terkena, dengan mekanisme yang belum jelas. Teori yang ada memperlihatkan kemungkinan adanya hubungan inervasi simpatetik yang kurang baik pada sirkulasi otak posterior dibanding anterior. Gangguan sirkulasi posterior akan menyebabkan timbulnya gangguan penglihatan/ buta kortikal pada fase awal. Apabila edema otak meluas akan muncul gangguan yang bersifat general (Cummingham dan Twickler, 2000).

Gambaran diffusion-weighted MRI dapat digunakan sebagai prediktor prognosis edema cerebri akibat eklampsia. Edema vasogenik memiliki prognosis yang lebih baik. Edema sitotoksik ditunjukkan oleh gambaran hiperintense akibat difusi cairan yang terbatas, sementara pada edema vasogenik akan ditemukan gambaran hipointense akibat difusi yang berlebih ( Loureiro, dkk, 2003).


Penatalaksanaan eklampsia

Tujuan utama terapi eklampsia adalah penurunan tekanan darah, pengendalian kejang, dan kelahiran neonatus. Penatalaksanaan eklampsia adalah:

  1. Penetalaksanaan fase akut

Pasien diposisikan dalam posisi lateral kiri, pastikan bahwa jalan nafas baik, dan berikan oksigen (The Scientific Committee of The Royal College of Obstetricians and Gynecologists, 1999)

  1. Terapi dan profilaksis kejang

Magnesium sulfat diberikan dengan dosis loading 4 gram intra vena dalam waktu 5-10 menit, dan dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan 1 gram per jam sampai 24 jam bebas kejang. Kejang berulang harus diterapi dengan bolus Benzodiazepin atau phenitoin (The Scientific Committee of The Royal College of Obstetricians and Gynecologists, 1999).

  1. Terapi hipertensi

Tekanan darah harus diturunkan apabila melebihi 160/ 110 mmHg atau tekanan darah arteri rata-rata > 125 mmHg. Hidralazine (5 mg intravena, diulang setiap 20 menit sampai dosis kumulatif maksimum 20 mg), atau labetalol (20 mg intra vena sampai 40 mg atau 80 mg setiap 10 menit sampai dosis kumulatif maksimum 300 mg). Nifedipin oral dapat pula digunakan, dengan dosis awal 10 mg (The Scientific Committee of The Royal College of Obstetricians and Gynecologists, 1999)

  1. Terapi cairan

Pengawasan cairan yang masuk dan urin output merupakan keharusan dalam perawatan eklampsia. Terapi cairan yang diberikan merupakan cairan kristaloid rumatan (85 ml/ jam atau jumlah urin output ditambah dengan 30 ml) (The Scientific Committee of The Royal College of Obstetricians and Gynecologists, 1999)

  1. Kelahiran neonatus


Terapi komplikasi edema cerebri

Edema cerebri dapat menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial yang sangat berbahaya. Peningkatan tekanan kranial akan dapat menyebabkan terjadinya herniasi otak, gangguan fungsi cerebral, gangguan saraf kranial, dan penekanan fungsi-fungsi vital otak (Walters, 1998). Tengkorak manusia merupakan bagian yang rigid, yang terutama diisi oleh otak (80%), darah (12%), dan cairan cerebrospinalis (8%). Pada fase awal akan terjadi penurunan darah vena dan cairan cerebrospinal sebagai kompensasi peningkatan volume otak oleh karena edema cerebri. Pada fase dekompensata akan terjadi peningkatan tekanan intrakranial (Walters, 1998).

Peningkatan tekanan intrakranial akan mengganggu tekanan perfusi cerebral. Tekanan perfusi cerebral merupakan pengurangan tekanan darah arteri rata-rata dengan tekanan intra kranial. Pada edema cerebri difus tekanan intra kranial dapat meningkat sampai 30 mmHg (Walters, 1998).

Edema cerebri dapat diterapi dengan hal-hal berikut:

  1. Hiperventilasi

Hiperventilasi akan menyebabkan darah menjadi lebih alkali. Hal tersebut menyebabkan vasokonstriksi pembuluh-pembuluh darah otak. Vasokonstriksi mengakibatkan penurunan edema cerebri, sehingga tekanan intrakranial juga menurun (Henderson, 2003). Hiperventilasi akan menurunkan edema cerebri sebesar 50% dalam waktu 2-30 menit (Walters, 1998). Pada pasien dengan peningkatan tekanan intrakranial, posisi elevasi kepala 30 derajat sangat dianjurkan untuk memperbaiki aliran balik vena (Walters, 1998).

  1. Terapi manitol

Manitol merupakan bentuk osmoterapi. Cairan hiperosmolar akan menarik cairan dari otak kembali ke pembuluh darah, sehingga terjadi penurunan edema cerebri. Dosis manitol adalah 0,25-0,5 g/ kg BB, dalam waktu 20-30 menit. Furosemide dapat pula diberikan pada kasus-kasus dengan fungsi ginjal yang baik (Greenberg, 2001).

  1. Penatalaksanaan tekanan darah yang tinggi

Tekanan darah yang terlalu tinggi akan menyebabkan gangguan autoregulasi cerebral yang mengakibatkan ekstravasasi cairan dan protein, sehingga tekanan darah harus dipertahankan optimal.

Aliran darah otak diatur oleh proses autoregulasi. Aliran darah otak akan selalu dipertahankan konstan, walaupun tekanan darah sistemik bervariasi. Autoregulasi cerebral akan berfungsi baik pada tekanan darah arteri rata-rata antara 50-150 mmHg. Apabila tekanan darah naik terlalu tinggi (MAP > 150 mmHg), maka akan terjadi peningkatan volume cerebral

  1. Penatalaksanaan kejang yang adekuat

Kerusakan jaringan otak dan edema dapat terjadi akibat bangkitan yang berkepanjangan dan berulang. Terjadinya kerusakan otak terutama diakibatkan oleh pacuan asam amino eksitatorik (terutama glutamat) (Holmes, 1997).


Kepustakaan

Related Post



0 komentar:

:)) ;)) ;;) :D ;) :p :(( :) :( :X =(( :-o :-/ :-* :| 8-} :)] ~x( :-t b-( :-L x( =))

Posting Komentar

 

Archives

Pengunjung


widgeo.net

Ayat Al Quran

Follower

© Copyright 2010. wahidnh.blogspot.com . All rights reserved | wahidnh.blogspot.com is proudly powered by Blogger.com | Template by o-om.com - zoomtemplate.com| Modified by wahidnh.blogspot.com